Selasa, 27 Januari 2015

selftalk

Gerimis belum habis.
Kusesap kehangatan lewat secangkir kopi. Tapi buru- buru kusudahi atas nama kontraindikasi. Ujung januari, tapi aku masih gamang pada hidupku sendiri. Kuusap titik-titik air pada ujung rambutku. Sisa air setelah membersihkan tubuh usai menangani pasien. Lelah? Bukan saatnya berkeluh kesah. Seonggok pil, tablet, diiringi salep, povidon, dan kassa. Aku merebahkan tubuh. Menyingkap setiap sel dan syaraf yang mengaduh mengeluh. Sisa hantaman roda jalanan. Sakit? Bukan waktunya berkelit.

Ah ya, tentu saja di hadapan orang-orang aku harus nampak berstamina. Mendengarkan keluhan, mengiyakan permintaan, menangani kesakitan. Meski aku sendiri tertatih, menahan pedih, menutup diri dari belas kasih.

Dari mana bisa kubedakan profesionalitas atau kepalsuan?

Tapi semua, mendadak tumpah malam ini. Dalam rinai gerimis yang kuharap melenyapkan setiap perih. Nyala laptop bercahaya manja memintaku menjentikkan jari-jari pada keyboardnya namun aku tak kuasa. Pada sendi-sendi tubuh yang mendayu manja ingin istirahat namun tak bisa. Pandanganku sejenak berputar. Pikiranku berpendar. Lalu tetes air mata terjatuh tanpa sadar.

Ah entah apa yang kutangisi? Sakit yang tidak terperi? Hidup yang entah bagaimana harus kujalani? Atau hatiku yang teriris oleh sepi...

Januari, malam itu di sudut kamarku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar